Monthly Archives: Desember 2013

ketika keterbatasan menjadi alasan

Semuanya terkejut dengan keputusan Imam Kisaai, sang ahli bahasa arab yang konon mengalahkan Sibawaih dalam debat itu memutuskan penggantinya serta pewaris ilmunya adalah Ali Al-Ahmar, seorang penjaga istana kholifah yang kadang hadir dalam majelisnya apabila shift penjagaan istana bukan jatahnya. “Saya tidak rela seorang pun menggantikan diriku selain dia,” ujar Kisaai yang tetap bersih keras untuk memilihnya[1].

Tentu Kisaai punya alasan khusus kenapa tetap memilih si penjaga istana itu menjadi penganti dirinya, Kisaai adalah seorang guru privat anak khalifah, mulai dari kedatangan Kisaai di depan gerbang istana Ali Al-Ahmar selalu menyambutnya, dengan modus menemaninya berjalan sampai menuju pintu kamar anak khalifah, ia leluasa bertanya  masalah-masalah yang belum ia pahami, kesempatan emas tersebut juga didukung oleh luasnya istana khalifah, begitulah seterusnya , sampai menjadikan Ali Al-Ahmar benar benar faham dalam ilmu bahasa arab, maka tidak heran Kisaai merasa mantap dengan pilihannya tersebut. keterbatasan Ali Al-Ahmar justru menjadi faktor kesuksesan untuk memperdalam ilmunya.

Dalam memaknai keterbatasan kadang kita sering memberikan pemakluman untuk mengambil alasan, selalu ada pembenaran atas setiap langkah mundur yang kita ambil, selalu ada alasan untuk berlama-lama di tiap perhentian yang kita singgahi sehingga lupa sabda Nabi  : “Bahwasanya besarnya cobaan itu berdampingan dengan besarnyanya ganjaran, apabila Allah mencintai hamba-Nya, Allah mengujinya”[2]

Suatu hari di tahun 440 Hijriah di kota Andalus terjadi diskusi antara Ibnu Hazm ulama bermazhab Dzohiri sekaligus anak dari salah satu seorang menteri berhadapan dengan Abul Walid Al-Baji ulama bermazhab Maliki yang pada saat itu masih menyambi sebagai satpam. bukan isi perdebatan itu yang ingin kami bahas, tapi lebih kepada pemakluman unik dari kedua belah pihak, setelah mereka berdebat, Abul Walid Al-Baji berkata kepada Ibnu Hazm : “Tolong maklumi kami, karena Kami terbiasa mentelaah ilmu hanya dengan naungan lampu templok yang  ditaruh di pos jaga.” Mendengar itu Ibnu Hazm tidak mau kalah, ia beralasan “Justru kami yang minta dimaklumi, telaah ilmu kami terbiasa di bawah menara-menara yang bergemerlapan emas dan perak.”[3]

Kalau kami boleh membahasamahasiswakan alasan mereka berdua mungkin yang pertama beralasan “Maaf, komputer kami sering ngadat dan hang plus tempat kami sering mati lampu,” sedangkankan yang kedua beralasan “Maaf, laptop kami terlalu canggih, bergrafik tinggi, sangat menggoda untuk bermain game-game mutakhir, hardisk yang luas menggiurkan untuk diisi drama asia.”

Tidak pernah ada jaminan kekayaan selalu memperlancar prestasi sebagaimana belum pastinya kemiskinan selalu menghambat karya.

Di dalam hadits qudsi Allah SWT berfirman :

إنَّ مِنْ عِبَادِي مَنْ لَا يُصْلِحُهُ إلَّا الْغِنَى. وَلَوْ أَفْقَرْته لَأَفْسَدَهُ ذَلِكَ. وَإِنَّ مِنْ عِبَادِي مَنْ لَا يُصْلِحُهُ إلَّا الْفَقْرُ. وَلَوْ أَغْنَيْته لَأَفْسَدَهُ ذَلِكَ. وَإِنَّ مِنْ عِبَادِي مَنْ لَا يُصْلِحُهُ إلَّا السَّقَمُ. وَلَوْ أَصْحَحْته لَأَفْسَدَهُ ذَلِكَ إنِّي أُدَبِّرُ عِبَادِي إنِّي بِهِمْ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Bahwasanya di antara hamba-hamba-Ku ada yang tidak membuat dirinya baik kecuali dalam keadaan kaya, seandainya Aku membuatnya miskin,  maka akan membuat dirinya rusak, dan diantara hamb- hamba-Ku ada yang tidak membuat dirinya baik kecuali dalam keadaan miskin, seandainya Aku beri kekayaan kepada dirinya maka akan membuatnya rusak, di antara hamba-hamba-Ku ada yang tidak membuat dirinya baik kecuali dalam keadaan  sakit, seandainya kusehatkan dirinya itu malah membuat dirinya rusak, sesungguhnya Aku terhadap keadaan mereka Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (H.R. Al-Baghowi)

Sebagaimana yang diketahui bahwa masyarakat jepang sangat menggemari masakan ikan segar, disebabkan itu pula para nelayan jepang sempat kebingungan bagaimana mendapatkan ikan salmon yang segar, karena kebanyakan ikan yg terkangkap langsung segera mati, walau seandainya tidak mati pun, ikan tersebut sudah tidak terasa segarnya, hingga akhirnya para nelayan menemukan solusi, setelah memperhatikan kebiasaan ikan salmon yang senang bergerak, para nelayan membuat kolam kecil di dalam kapalnya untuk menaruh salmon yang sudah ditangkap lalu dimasukkanlah hiu-hiu kecil  untuk mengejar salmon-salmon tersebut. Para salmon pun “terpaksa” berlari menghindar dari hiu-hiu yang memburunya hingga akhirnya sampai ke tangan para koki restoran dan ikan dalam keadaan segar[4].

Tentu di hidup kita selalu ada “hiu-hiu” yang merepotkan kita, tapi hanya sedikit orang yang menanggapi positif tersebut, kita lebih banyak mengeluh dengan keterbatasan, juga menyalahkan kejaran hiu-hiu tersebut.

“Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik untuk kalian, dan bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal itu buruk untuk kalian, dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqoroh : 216)

Saya dan anda bukan orang yang pertama dikejar oleh hiu-hiu kecil itu, sudah banyak orang sebelum kita tertimpa apa yang kita alami, ada ‘Asiah istri Fira’un namun tetap menjaga ubudiahnya hanya kepada Allah SWT semata[5], ada Abu Dawud yang menulis Kitab Sunan di dalamnya ada lebih dari 5700 hadits, dia menulisnya ketika ia ribath fie sabilillah[6], Ibnu Taimiyyah yang ditekan segala kalangan yang membencinya, namun ia tetap berkarya, menganggap hiu-hiu itu adalah aura-aura  positif yang selalu mendukungnya dalam beribadah,  “Apasih yang dilakukan oleh para musuh-musuhku?” ucap Ibnu Taimiyyah, “Taman surgaku berada di dadaku, ia ada kemanapun aku pergi, jika aku dipenjara jadilah itu tempatku berkhalawat, jika aku dibunuh  aku tercatat menjadi orang yang syahid, kalau aku diasingkan dari negeriku kuanggap itu sebagai tamasya[7].”

Toh pada akhirnya saya dan anda pun bebas memilih, antara untuk tetap berlari sambil berkeringat yang membuat karya kita semakin berkilau, atau berhenti dan kemudian terlindas oleh roda keterbatasan.

Wallahu a’lam


[1] lihat mu’jam al udaba (4/1670)

[2] hadist hasan ghorib riwayat tirmizi setelah no (2396) dan ibnu majah no(4031

[3] lihat mu’jam al udaba (2/28) dan koreksinya di shofahat mi hayati shobril ulama abdul fattah abu ghuddah

[4] saya tahu cerita  ini dari buku “setengah isi setengah kosong” 7 tahun lalu ,dan masih merasa aneh , memangnya ikan salmon itu ikan laut yah? klo ikan tawar kenapa ditaruh hiu yah? apa saya dah lupa ceritanya yah ?

[5] lihat surat attahrim ayat : 11

[6]  muqodimah ma’alimussunan abu thohir assilafi

[7] al wabil ashoib  hal :67